Hijab


Lia....

Apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya. Syukur deh, memang itu yang selalu kuharapkan siang dan malam.
Tak terasa, sudah hampir setahun kita tak bertemu. Aku sangat rindu pada kamu, rindu ingin bertemu. Tapi, apakah mungkin hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dapat terulang lagi? Apakah mungkin hari-hari indah seperti dulu dapat tercipta lagi? Apakah mungkin? Menyesal rasanya aku telah berbuat salah kepada kamu. Aku minta maaf. Aku begitu bodoh, ketika itu, kenapa aku harus meninggalkan kamu yang sudah kutahu siapa kamu. Kamu adalah gadis sejuta pesona yang tiada duanya. Dan akhir-akhir ini, aku selalu ingat kamu. Dapatkah kita seperti dulu lagi, Lia? Mengisi hari-hari yang kita lalui dengan indahnya cinta? Dapatkah?
Sekali lagi kumohon, maafkan aku, Lia. Dan aku percaya, hati kamu yang selembut awan itu dengan tulus akan memaafkannya. Ssemoga.

Salam,
Leo
***
Aku lipat surat berwarna biru muda yang baru saja kubaca itu. Dudukku jadi tidak tenang. Angin malam yang lembut menggeraikan rambutku. Aku menengadah, memandang sinar rembulan yang sedang bulat-bulatnya bersinar.
Di tengah-tengah bulatnya rembulan, tiba-tiba saja wajah Leo tampak dan memberikan senyuman kepadaku. Aku mendesah pelan. Sudahlah, Leo, lirihku. Aku tak mau kamu ganggu lagi. Sudah cukup luka yang kau torehkan di hatiku. Aku tak mau luka itu tergores lagi. Aku ingin melupakan kamu, Leo. Meskipun secara jujur aku akui, hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dulu telah menjadi kenangan yang sulit untuk kulupakan. Pergilah, Leo. Aku sudah merelakan cinta kamu untuk Shinta. Bukankah kamu dulu meninggalkanku demi Shinta? Kenapa sekarang kamu ingin kembali lagi kepadaku? Tak puaskah kamu menyakiti hatiku? Atau kamu ingin membunuhku secara perlahan-lahan dengan cintamu?
Didustai itu sakit, Leo. Apalagi dustanya cinta. Pernahkan kau melihat lilin yang terbakar? Seperti itulah hatiku ketika kau tinggal pergi tanpa pesan sepuluh bulan yang lalu. Hancur, hancur benar hatiku ketika itu, hingga aku tak bisa membedakan mana nikmatnya air susu dan obat serangga. Akibatnya, aku harus 'indekos' di rumah sakit selama seminggu.
Ah... untung aku dapat tertolong, kalau tidak? Entahlah. Yang jelas, aku sangat mengutuk tindakan bodohku pada waktu itu. Aku menjadi buta, buta karena cintamu. Karena, kamu adalah cinta pertamaku, Leo. Dan kata orang, cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Sialnya, itu memang benar. Dan sepuluh bulan aku harus melupakan kamu, yang terkena panah cinta Shinta si Foto Model itu, merupakan sebuah perjuangan yang sarat dengan rintangan. Hari-hari indah yang sering kita lalui bersama selalu mengusik hatiku. Aku pikir, ketika itu aku tak bisa melupakanmu selama-lamanya. Tapi dengan posisiku ketika itu, bahwa aku dan kamu sudah tidak ada apa-apanya, meskipun kita belum pernah mengucap kata berpisah, membuatku sadar, bahwa kamu adalah lelaki masa laluku. Aku harus bisa melupakanmu. Sulit memang. Tapi aku mencobanya dengan perlahan-lahan. Dan sekarang, ketika aku sudah mulai dapat melupakanmu, tiba-tiba saja kau hadir kembali. Hadir kembali dengan sepucuk surat yang kau berikan melalui Dian, teman sekelasku.
Ah, Leo... apa yang kau ingini dariku sekarang ini? Cinta? Kalau kau memang mengingini cintaku kembali lagi untukmu, kenapa kau dulu mencampakkannya? Kenapa kau dulu malah memilih cinta Shinta setelah kau dapatkan cinta dariku yang seutuhnya? Kenapa, Leo?
Aku mendesah pelan. Bayangan wajah Leo di atas sana masih tersenyum seperti tadi. Ah... aku kembali mendesah. Pandangan Leo seperti sedang menjajahku. Dan senyumannya... senyumannya itulah yang dahulu telah meluluhkan hatiku, hingga aku sampai bertekuk lutut di singgasana cintanya. Entah mengapa, akhirnya aku menikmati senyumannya itu. Dan kembali mengingat kenangan indah hari-hari bahagia dulu.
Di taman ini, kalau malam Minggu, aku selalu duduk berdua dengannya. Cerita, bercanda, dan tertawa. Dan aku masih ingat ketika purnama seperti sekarang ini, Leo membelai rambutku dengan penuh cinta kasih sambil membisikkan kata-kata:
"Aku mau mengajakmu ke bulan, Lia. Kamu mau?"
"Kemana pun kau ajak aku, Leo, aku pasti ikut," jawabku, sambil bersandar manja di bahunya. Ah, kenangan itu teramat sulit kulupakan.
Setiap malam minggu kamu menemaniku. Dan hari-hariku pun menjadi indah karena cinta kamu. Tapi setelah purnama kedua sehabis kau mengatakan ingin mengajakku ke bulan, kamu tidak hadir menemaniku. Aku begitu sedih. Tak percaya rasanya kamu tega membiarkanku berteman sepi. Aku begitu kecewa. Apalagi setelah malam Minggu selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya kamu tak hadir lagi, aku semakin kecewa. Hancur hatiku! Karena kamu pergi begitu saja tanpa pesan. Andaikan saja kita satu sekolah, ingin rasanya aku mendatangi kelasmu, lalu akan kukatakan kepada kamu, bahwa aku begitu kesepian tanpa dirimu. Tapi sekolah kamu berbeda. Kita bertemu dan bersatu pun, tanpa disengaja.
Kalau bukan karena classmeeting sehabis kenaikan kelas, mungkin kita tak pernah bertemu. Sekolahmu dan sekolahku mengadakan kompetisi basket, itulah yang mempertemukan kita. Ah, Leo... kamu telah mendustaiku. Mana janjimu ingin mengajakku ke bulan? Seumpamanya tidak jadi pun, asalkan kamu menemaniku setiap malam Minggu seperti dulu, aku akan bahagia. Tapi ketika itu, kamu tidak hadir-hadir lagi di malam Mingguku. Dan lama-lama aku tahu, ternyata kamu kepincut dengan gadis lain. Shinta. Ya, Shinta, namanya. Dian yang menceritakan semuanya tentang kamu. Dian tahu tentang kamu dari sahabatnya yang satu sekolah dengan Shinta. Shinta adalah seorang foto model yang wajahnya sering menghiasi sampul majalah-majalah remaja. Hatiku semakin hancur. Pantas memang kamu memilih Shinta ketimbang aku. Shinta seorang foto model, sedangkan aku apa? Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Tapi Leo, kenapa kita harus bertemu kalau akhirnya tidak bersatu? Kenapa kamu meninggalkanku kalau pada akhirnya kamu malah ingin kembali lagi kepadaku? Kenapa, Leo?
Aku kembali mendesah. Hembusan angin malam yang dingin, menyelimutiku. Kalau saja bukan malam, ingin rasanya aku duduk berlama-lama dahulu di taman ini. Dengan kegelisahan di hati, aku tinggalkan bangku taman yang jadi saksi bisu segala cinta Leo dulu kepadaku. Meninggalkan bayangan wajah Leo yang masih tersenyum di atas sana....
***
Aku kaget, begitu melihat Leo sedang duduk di samping kijang biru tuanya. Ia tersenyum ke arahku. Aku cepat-cepat membuang muka. Kikuk juga rasanya. Tapi aku berusaha biasa-biasa saja. Tak enak kalau Dian sampai tahu kekagetanku demi melihat Leo di seberang sana.
"Lia, aku duluan, ya." Rupanya Dian tidak mengetahui di seberang sana ada Leo.
"Iya, deh. Hati-hati di jalan, Dian. Kalau jatuh bangun sendiri, ya!" selorohku.
Dian cuma tersenyum sambil mengajungkan jari tangan kanan yang tengah.
Aku melirik ke arah Leo, dia masih memandangku. Aku jadi gelisah. Mang Rohman, supir pribadiku yang mengantar dan menjemput aku sekolah belum kelihatan batang hidungnya. Ini tidak biasa. Kalau saja bukan bubaran sekolah, mungkin aku begitu kikuk berdiri sendiri seperti ini sambil dipandangi oleh Leo di seberang sana.
Tet-tet-tet! Ah, itu Mang Rohman! Lonjakku kegirangan.
"Aduh, kenapa terlambat sih, Mang?" gerutuku, sambil membuka pintu mobil.
"Wah, jalanan macet, Non. Apalagi ini hari Senin. Tahu sendiri deh bagaimana keadaan jalan kalau hari Senin sore," ujar Mang Rohman membela diri.
Aku cuma manyun.
Ketika mobil berjalan, aku menoleh ke arah Leo. Duh, dia melambaikan tangan. Entah mengapa, aku tersenyum untuknya.
Sesampainya di rumah, hatiku tidak tenang. Pintu kamar aku kunci. Dengan tergesa-gesa, aku buka laci meja belajarku. Aku keluarkan semua isinnya. Di tumpukan terakhir, aku menemukan barang yang aku cari. Foto Leo berukuran 5R. Aku pandangi wajah tampan dengan seulas senyum menawan itu. Ah... aku lempar foto berbingkai indah itu ke atas ranjang. Aku pandangi langit-langit kamar. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku rindu dengan Leo. Lambaian tangannya tadi di sekolah membayangiku terus.
"Lia! Lekas mandi dan makan." Suara Mama membuyarkan lamunanku.
"Sebentar, Ma," sahutku
Aku usap wajahku, lalu bergegas ke kamar mandi.
Malamnya, ketika aku sedang melihat acara musik di tv, Mama memanggilku.
"Ada apa, Ma?" Aku menghampiri Mama.
"Di depan ada Leo." Aku kaget mendengar penjelasan Mama yang tiba-tiba itu. "Mama minta, kamu temui dia. Mama tahu, luka hatimu karena Leo memang masih membekas. Tapi Leo tadi meminta dengan sangat, ingin bicara dengan kamu. Jadi saran Mama, temui dia dulu, ya," ujar Mama. Bijaksana sekali Mama ini, gumamku dalam hati. Mama memang tahu semua apa yang pernah terjadi antara aku dan Leo.
Dengan senyum, aku turuti saran Mama itu. Dan kalau aku mau jujur pun, aku akan menemui Leo tanpa mesti dipinta oleh Mama.
Di ruang depan, aku lihat Leo sedang duduk di bangku dekat pintu.
"Hai!" sapanya, ramah sambil tersenyum.
Aku tidak menyahut. Langsung duduk di hadapannya.
"Apa kabar, Lia?"
Aku kembali tidak menyahut. Leo tampaknya gugup sekali. Kurundukkan kepalaku. Kupandangi lantai karpet yang kupijak. Sedangkan jari-jari tanganku memainkan ujung kaos biru mudaku.
"Lia...."
Aku menoleh. Leo memandangku lekat-lekat.
"Aku... aku minta maaf."
Aku kembali menunduk.
"Aku akui, aku bersalah sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku, Lia?"
Aku tak menjawab.
Leo akhirnya diam.
Hening.
"Bagaimana kabar Shinta?" tanyaku memecah kesunyian.
Leo tampaknya tidak enak mendengar pertanyaanku. Ia merunduk.
"Lia... aku minta maaf," katanya. "Aku salah pilih. Aku bersalah pada kamu. Shinta bukan gadis idamanku. Dia terlalu glamour, penuh hura-hura dan punya cinta di mana-mana. Aku begitu menyesal. Kenapa aku dulu meninggalkan kamu. Aku...." Leo tidak meneruskan kata-katanya. "Ah, sudahlah. Aku tidak ingin membicarakan Shinta," kata Leo akhirnya.
"Kenapa? Bukankah enak pacaran sama foto model? Terkenal, dan selalu jadi sorotan media massa."
Leo diam saja.
"Lia, aku minta pengertian kamu."
"Pengertian apa? Bukankah sudah cukup kamu menyakitiku. Mendustaiku?"  Nada suaraku meninggi. "Pengertian apa yang kamu maksud?"
Leo tidak menjawab.
Hening lagi.
"Surat yang kuberikan melalui Dian sudah kamu terima?"
Aku pandang Leo. "Kenapa memangnya?"
"Kalau begitu aku mau permisi saja," Leo berdiri. "Aku cuma mau bilang, dapatkah kita seperti dulu lagi? Tak ada gadis lain di hatiku selain kamu, Lia."
Aku diam.
"Hanya kamu yang ada di hatiku, Lia. Aku jujur."
Aku merunduk.
"Aku permisi. Kalau boleh, malam Minggu nanti aku ke sini lagi, ya?"
Aku masih diam.
Aku pandangi langkah-langkah Leo keluar. Setelah masuk ke dalam kijang biru tuanya, mobil itu melaju membawa sepotong hati yang kecewa. Membawa dan menyeret perasaanku yang kacau tak menentu.
Ah, Leo... kalau aku boleh jujur, cintaku masih milik kamu. Tak ada pemudai lain di hatiku selain kamu. Datanglah di malam Minggu-malam Minggu seperti dulu, Leo.
Karena, cinta ini masih milik kamu. ©



Perempuan yang Selalu Menggenggam Telur

T. Sandi Situmorang



Tidak ada yang istimewa. Hanya sebutir telur ayam kampung. Berwarna putih keruh. Tidak ada sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Biasa saja. Andai saja perempuan itu tidak selalu menggenggamnya. Sepanjang waktu. Membawa kemana ia pergi. Konon saat tidur dan mandi, perempuan itu selalu menggenggamnya. Hanya berpindah antara tangan kanan dan kiri.
Tentu menjadi sebuah pergunjingan. Desa bukan seperti kota . Di desa ini, segala sesuatu cepat tersebar. Tingkah laku warga, aneh sedikit saja, menjadi topik hangat di warung-warung kopi, kedai sembako, bahkan di pematang sawah sekalipun.
"Sudah gila kurasa. Selalu dia pegang telur itu."
"Barangkali dia sudah ngebet minta kawin."
"Mana mungkin. Kekasihnya baru saja pergi merantau."
"Aku lihat semenjak kekasihnya pergi merantaulah dia jadi aneh begitu."
"Barangkali dia rindu dengan kekasihnya itu."
"Hus, tidak baik bicara begitu. Tak ada hubungan rindu kekasih dengan selalu menggenggam telur itu."
"Mungkin saja, kan?"
"Janganlah berburuk sangka. Tak baik. Dia itu perempuan suci. Tidak mungkin dia suka memegang telur kekasihnya."
"Ah, mungkin saja. Urusan seperti itu tak memandang orang suci atau tidak. Semua suka."
"Memang. Tapi�"
Begitulah yang kerap terjadi di warung kopi. Topik pembicaraan selalu mengenai perempuan itu. Setiap hari. Berulang-ulang. Dibicarakan oleh orang yang sama. Mereka seolah lupa topik pembicaraan yang mereka suka selama ini: pejabat yang korupsi, dana BLT yang tersendat, sampai masalah judi buntut yang tidak jelas lagi buntutnya.
***
Perempuan itu berbalik. Melangkah riang. Ia bahagia. Meski terasa ada yang hilang dari tangannya. Ia bahagia, bisa memenuhi janji. Meski bukan seperti inginnya.
"Kau tahu, orang-orang desa semua membicarakanmu."
"Kenapa?" tanya perempuan itu sambil mengelus-elus telur di tangannya. Warnanya tidak lagi putih keruh, tapi sudah putih kebiru-biruan.
"Karena telur itu tidak pernah lepas dari tanganmu."
"Tidak mungkin lepas. Ini masa depanku."
"Masa depan bagaimana?"
"Cukup hanya aku yang tahu."
"Kau terlalu berahasia. Meski dengan aku, sahabatmu sendiri. Itu sebab orang desa menggunjingkanmu. Kau dicap perempuan aneh."
Perempuan itu tersenyum. Matanya menerawang jauh. Terbang melintasi langit biru yang terhampar bak karpet di langit luas. Sementara tangannya masih mengelus-elus telur itu. Tidak akan ia lepas telur itu dari tangannya. Sampai waktunya tiba.
"Bahkan ada yang bilang, kau kegatalan. Ingin kawin."
Senyum perempuan itu pecah menjadi tawa. Pipinya yang kuning langsat tampak memerah. Kawin. Ah, siapa yang tidak ingin kawin. Terlebih dengan seseorang yang mampu menggetarkan hati. Seseorang yang selalu membuat jantungnya menggelepar-gelepar jika mereka bersentuhan.
"Kenapa tertawa?"
"Aku memang ingin kawin. Tapi tidak sampai kegatalan."
"Ayolah, ceritakan padaku kenapa kau selalu menggenggam telur itu."
"Aku tidak mau bercerita kepada siapa pun," kata perempuan itu tegas. Matanya menerawang, jauh.
***
Senja hari. Di dalam sebuah gubuk. Di tengah sawah yang terhampar luas. Hijau. Batang-batang padi mengangguk-angguk seirama digoyang angin. Beberapa burung nekat mencuri butiran-butiran padi. Padahal orang-orangan sawah terlihat berjaga menyeramkan.
"Habis musim panen, aku akan pergi ke kota," kata seorang laki-laki yang berada dalam gubuk itu. Masih muda dan tidak jelek. Rambutnya model cepak. Tubuhnya terbentuk karena selalu berkutat di sawah.
"Untuk apa?" tanya perempuan yang duduk di sampingnya. Seorang perempuan berambut panjang. Berkulit kuning, cantik.
"Mengadu nasib."
"Maksudmu merantau?"
Laki-laki itu mengangguk, mantap.
"Hidup di kota itu keras. Kau hanya tamat SMP. Kau akan kalah sebelum perang dimulai."
"Kau tahu, temanku Marto, baru setahun merantau, ia sudah bisa mengirim uang untuk keluarganya. Dua juta, katanya. SD saja dia tidak tamat."
"Barangkali nasib dia sedang mujur."
"Makanya aku harus mencoba. Biar aku tahu, nasibku mujur atau tidak. Aku bosan selalu terkurung di desa ini. Aku mau melihat dunia luar, yang hebat. Gemerlap. Pasti menyenangkan."
"Lalu aku?" pelan suara perempuan itu.
"Kau di sini saja. Setelah di kota hidupku mapan, aku akan menjemputmu. Kita menikah, tinggal di kota."
Perempuan itu tersenyum. Indahnya ucapan itu. Laki-laki itu balas tersenyum. Tangannya yang kasar bergerak meraih tangan perempuan itu. Meremas lembut. Perempuan itu tersipu malu. Membuat si laki-laki kian berani. Tidak hanya meremas tangannya.
Di luar, padi-padi hijau tetap bergoyang, seirama tiupan angin. Burung-burung semakin nekat mematuk padi, meski mata orang-orangan sawah tetap melotot, menyaksikan.
Tiga bulan kemudian. Perempuan itu mengantar laki-laki itu ke terminal kecamatan. Ia genggam tangan laki-laki itu erat. Betapa berat untuk melepas. Berpisah sekian waktu yang tidak pasti, namun ia tahu akan sangat lama.
Sepuluh menit lagi bis bergerak. Laki-laki itu menggenggamkan sesuatu ke telapak tangan perempuan itu.
"Apa ini?"
"Kau harus berjanji, tidak akan pernah melepaskan sampai aku pulang, menjemputmu. Ini telur pertama dari ayam kesayanganku. Sebenarnya aku ingin memberikan ayam itu padamu. Untuk kau jaga. Tapi aku tahu kau tidak menyukai ayam. Maka kuberi telur ini. Kau harus menjaganya. Seperti kau menjaga rasamu hanya untukku. Buktikan kesetiaanmu dengan selalu menggenggam telur ini."
"Permintaanmu sulit. Tidak mungkin telur ini terus berada dalam genggamanku. Pasti akan menghambat kegiatan sehari-hariku."
"Tidak sulit jika kau punya niat."
Perempuan itu menatap telur dalam genggamannya. Sebuah telur ayam kampung. Putih bersih. Ia bersumpah akan menjaganya. Selalu menggenggam. Seperti ia selalu menggenggam cinta laki-laki itu dalam hatinya. Siang-malam. Suka maupun duka.
***
Berita itu menyakitkan. Mampir berulang-ulang di telinganya. Ia tidak percaya. Ia percaya dengan laki-laki itu. Dengan ucapannya dulu. Laki-laki itu akan menjemputnya. Suatu hari. Entah kapan. Namun pasti.
Ia sanggup menjaga telur itu. Dua tahun berada dalam genggaman tangan. Dan laki-laki itu berada dalam genggaman hatinya. Meski tidak sedikit yang coba menggoyah. Ia tetap tegar. Meski harus diakui, terkadang ia goyah juga menghadang gempuran yang bertubi-tubi. Namun telur itu selalu mengingatkan. Menguatkan benteng pertahanan yang mulai melemah.
Meski surat dari laki-laki itu semakin jarang, timbul tenggelam. Akan tetap ia genggam.
"Aku mendengar sendiri dari ibunya. Ia sudah kawin di kota. Bahkan istrinya sudah hamil empat bulan."
Perempuan itu menggenggam erat telur di tangannya. Namun tidak sampai pecah. Dua tahun berada dalam genggaman, ia tahu sebatas mana kekuatan yang harus ia beri agar telur itu tidak pecah.
"Ia sudah melupakanmu. Bahkan meninggalkanmu."
Tidak mungkin. Ia tidak mau mendengar itu lagi. Terlalu menyakitkan.
"Biar kau percaya, singgahlah ke rumah orang tuanya. Lihat foto perkawinannya di sana. Karena kudengar, laki-laki itu mengirimkan foto perkawinan untuk orangtuanya."
Tangan perempuan itu bergetar. Bibirnya bergetar. Pundaknya bergetar. Hatinya juga bergetar.
Namun, telur itu tetap ia genggam. Sebelum ia mendengar dari mulut laki-laki itu. Atau setidaknya, ia yang melihat sendiri.
***
"Lihat perempuan sinting itu. Sudah lebih tiga tahun dia selalu menggenggam telur itu."
"Aku pikir termasuk hebat juga dia. Selama tiga tahun selalu menggenggam telur. Tidak pecah pula."
"Aku tidak percaya telur yang digenggamnya itu adalah telur yang dia genggam tiga tahun yang lalu."
"Aku percaya. Lihat saja warnanya sudah aneh begitu."
"Dia begitu karena kekasihnya yang pergi merantau sudah menikah di kota."
"Dia selalu menggenggam telur itu jauh sebelum kekasihnya menikah di kota."
"Tepatnya, dia selalu menggenggam telur itu sejak kekasihnya merantau."
"Kita tidak tahu apa alasan perempuan itu selalu menggenggam telur itu. Tapi berita yang aku dengar, dalam waktu dekat ini, kekasihnya dulu akan datang bersama anak dan istrinya."
Perempuan itu mendengar perbincangan di warung sembako itu. Ah, kekasihnya akan datang juga akhirnya. Meski laki-laki itu datang bukan untuk menjemputnya, ia bahagia.
***
Stasiun kecamatan. Perempuan itu berdiri menatap bis yang masuk terminal. Telur itu ada pada genggaman tangan kanan. Matanya menatap lekat setiap penumpang yang turun.
Hari ini laki-laki itu akan datang. Bersama anak dan istrinya. Begitu berita yang ia dengar. Sayang berita itu kurang lengkap. Karena tidak jelas akan datang sekitar jam berapa.
Tidak apa. Ia bersedia menunggu dari pagi. Hingga malam sekalipun.
Kepalanya pusing melihat lalu lalang orang dan kendaraan yang semrawut. Ia putuskan menunggu di gerbang desa. Sama saja. Nanti laki-laki itu akan melewati gerbang itu juga. Karena itu satu-satunya jalan untuk memasuki desa.
Tengah hari. Ia berdiri di gapura desa. Bayangan dirinya hanya sejengkal panjangnya. Perempuan itu mematung, persis tugu selamat datang. Peluh bercucuran di wajah, bahkan di seluruh tubuh. Matanya menatap lurus ke ujung jalan.
Matanya berkedip. Genggaman telur di tangan semakin erat. Laki-laki itu sudah datang. Bersama seorang wanita dan bocah di gendongan. Berjalan mendekatinya. Semakin dekat.
Mereka berhadapan. Wajah perempuan itu dingin menatap. Meski ada bilur rindu, ia sadari tidak tepat untuk memburainya. Maka ia tekan saja dalam hati.
Tanpa dialog. Tanpa suara. Perempuan itu mengangkat tangan. Mencampakkan telur itu tepat di wajah laki-laki itu. Baunya busuk. Berhembus ditiup angin ke segala sudut desa.
Perempuan itu berbalik. Melangkah riang. Ia bahagia. Meski terasa ada yang hilang dari tangannya.
Ia bahagia, bisa memenuhi janji. Meski bukan seperti inginnya. ©